Selasa, 08 Juli 2008

panTai ujOenG baTee dan Trauma TsuNami

Tanggal 6 July '08 aku dan sepupuku piknik ke pantai ujoeng batee, hah... Udara yang sejuk dan pemandangan yang indah sekali terbentang di hadapanku. Pepohonan yang hijau nan lebat dan tawa riang anak-anak kecil semakin memanjakan mata dan telingaku. Kamipun segera melompat kedalam lautan yang bersih itu, sesekali berteriak karena ombak yang besar menerkam kami, tapi aku bahagia.

Awalnya aku takut dengan suara dentuman ombak yang pecah ditepi pantai, aku masih trauma dengan kejadian 4 tahun silam. Tsunami yang menyapu rata rumahku. Aku ingat kembali kejadian itu, saat-saat dimana tak ada daya upayaku untuk menyelamatkan nyawaku sendiri. Diawali dengan goncangan dahsyat yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Tak lama kemudian banyak orang berbondong-bondong lari dengan meneriakkan " Air naik....". Semakin banyak orang yang lari, tapi aku hanya diam saja memandangi mereka, aku mengira air banjir yang hanya selutut yang ditakutkan warga. Tak sengaja aku melihat ke arah menara mesjid yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri, tampak olehku air yang tinggi hingga melewati menara mesjid, akupun terkejut dan berlari kencang. Aku kehabisan tenaga untuk berlari, hingga tergulung ombak, dan dihempas kesana kemari, aku seperti terbang ketika ditenggelamkan didalam air yang hitam legam dan hangat, tak ada hasrat untuk bertahan hidup. Aku pasrah, namun terus berdzikir didalam hatiku. Namun Allah membangkitkan lagi semangatku ditengah-tengah ketidakberdayaanku, aku mulai mengayuh kedua tanganku sampai salah satunya tersangkut pada ventilasi sebuah toko. Alhamdulillah.. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laailaaha ilallah... Dzikir itulah yang kuucap berulang-ulang. Aku bertahan di ventilasi tadi sampai akhirnya air surut, aku bergantung dan kupegang erat besinya.

Air telah pergi kembali ke muara, akupun melompat turun. Kucari kedua orang tuaku, dan adikku Teuku Aldi tercinta. Aku berjalan menuju rumahku dan kudengar sayup-sayup suara seseorang memanggil-manggil namaku, kulihat diatas atap sebuah rumah dimana suara itu berasal, ah Alhamdulillah Ayah dan Adikku selamat. Akupun segera menjemput mereka, kupanjat kayu demi kayu yang menutupi jalan, hingga dapat kupeluk lagi adik dan ayahku tercinta. Kamipun pergi meninggalkan tempat itu, kami berjalan ke arah kota, melewati RRI dan lapangan Blang Padang, kulihat mayat-mayat berserakan. Kubalikkan badan mayat yang posisinya terlungkup, aku ingin memastikan bahwa itu bukan ibuku. Kamipun terus berjalan sambil melihat-lihat seseorang yang kami kenal. Tak lama kemudian terdengar lagi orang berteriak, "Air naik.....". Maka spontan kamipun berlari ketakutan. Semua orang menyelamatkan diri masing-masing. Ayahku meminta pertolongan kepada seorang teman yang sedang mengendarai becak untuk mengantarkan kami ke stadion harapan bangsa. Ditempat itulah kami banyak bertemu kerabat. Hingga Ayah dan adikku yang sedang sakit dibawa berobat ke SPN Seulawah. Aku disuruh menunggu di sebuah rumah seorang kerabat yang bernama Pak Gaguk, di kota Jantho.

Berhari-hari kutunggu tapi Ayah dan adikku tak kunjung kembali, akupun bertanya-tanya tentang keadaan mereka kepada siapapun yang baru tiba dari luar kota Jantho. Hingga kudapat informasi bahwa Ayah dan adikku kini tinggal di salah satu rumah komplek SPN tersebut. Aku lega. Alhamdulillah... Om Mukhtar, sahabat Ayahku. Beliau yang mengantarkan aku ke tempat Ayah dan adikku. Beliau pula yang membiayai kami selama Ayahku belum mendapatkan uang/gaji. Allah sayang padaku melebihi semua itu, setelah dipertemukan lagi dengan Ayah dan Adikku, menyusul pula Ibu yang akhirnya berhasil menemukan kami setelah mencari-cari ke semua tempat pengungsian. Alhamdulillah kami berkumpul lagi. Tapi aku tertegun ketika melihat pas photo Abangku yang terpampang di dompet Ibu. Bagaimana nasibnya? Abang berada di Meulaboh pada saat kejadian itu. Kamipun mencari-cari lagi informasi tentang keberadaan keluarga kami yang ada di kota Meulaboh yang katanya tinggal 15 % yang utuh. Sampai akhirnya aku mendengar dari Ayah bahwa Abang masih hidup dan keadaannya sehat. Ayah menugasi aku untuk menjemput Abang, maka akupun berangkat ke Meulaboh melalui Medan, karena jalan yang biasa kami lalui sudah putus karena Tsunami.

Yah... Begitulah cerita singkatku tentang pengalamanku 4 tahun yang lalu. Yang sampai sekarang masih menyisakan trauma. Aku takut mendengar suara dentuman ombak yang menghempas tanggul, rasanya aku ingin berlari sejauh-jauh mungkin. Tapi aku sedang berusaha mengatasi ketakutan ini, doakan yah....

Tidak ada komentar: